Entah kenapa, jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 pada hari Senin 29 Oktober 2018 itu dan semua kisah yang terjadi terkait kecelakaan tersebut saya yakini sangat berbekas dalam hati kita semua. Kisah kecelakaan tersebut meninggalkan jejak yang mendalam karena kisah para penumpang tersebut sangat dekat dengan diri kita atau bahkan mewakili keseharian hidup kita. Bagaimana tidak, dalam pesawat tersebut terdapat sosok-sosok manusia yang memiliki peran yang sama dengan peran kita dalam kehidupan sehari-hari, entah itu pada peran kita sebagai ayah, ibu, suami, istri, anak, karyawan, teman, pelajar dan peran-peran sosial lainnya yang amat beragam.
Pasca terjadinya kecelakan tersebut, muncullah berbagai kesaksian dari para keluarga, kerabat dan teman yang ditinggalkan mengenai keseharian para korban semasa hidup. Kesaksian yang mereka berikan memberikan sebuah keyakinan bahwa sebagian besar dari mereka yang ditakdirkan untuk menaiki pesawat tersebut adalah orang-orang yang baik. Bagaimana tidak, di pesawat tersebut terdapat seorang teman saya yang menurut kerabatnya sangat memperhatikan pendidikan saudara-saudaranya. Ia akan datang dari jauh jika mendengar ada saudarnya yang tidak mau melanjutkan pendidikannya. Dalam pesawat yang sama terdapat seorang muslimah yang menurut temannya tidak pernah berhenti ber muro’jaah atau mengulang kembali hafalan Qurannya dimanapun ia berada, termasuk ketika ia sedang berada dalam perjalanan. Di pesawat tersebut juga terdapat seorang ayah yang memiliki seorang anak yang sudah tahfiz Quran 6 juz. Dalam pesawat yang sama juga terdapat seorang ibu yang baru menemui putrinya yang sedang mondok di pesantren untuk menghafal Al-Quran. Ada juga seorang penumpang yang baru saja menjadi mualaf.
Kesaksian baik mengenai kebaikan dan keshalehan korban dari pesawat itu pun tidak terhenti pada kisah para penumpangnya. Sang Co-Pilot yang bernama Harvino pun dikisahkan memiliki kepribadian yang sangat baik. Rekan sekerjanya maupun keluarga bahkan masyarakat yang jauh dari tempat tinggalnya memberikan kesaksian bahwa ia merupakan seorang yang shaleh. Bagaimana tidak, Captain Harvino bukan hanya menjadi seorang Ayah dari 3 putera-puteri kandungnya, ia juga menjadi ayah asuh bagi 10 anak-anak yatim di Desa Nyamplung Sari, Petarukan, Pemalang. Para anak yatim dhuafa di desa itu sudah memperoleh uluran tangan Captain Harvino yang tak pernah putus sejak 3 tahun yang lalu. Anak-anak yang tadinya tak sekolah dapat sekolah lagi, mereka yang tak bisa mengaji diajarkan baca Al-Qur’an. Berkat uluran tangannya itu, jiwa keimanan penduduk di desa tersebut semakin tumbuh. Sang Captain juga telah membangun sebuah Mushala kecil bersama penduduk desa tersebut. Tidak hanya itu, ia bersama teman-temannya, sedang dalam proses membangun Rumah Qur’an untuk menampung anak-anak yatim dhuafa dan anak nelayan yang jumlahnya kini mencapai 164 anak di desa Nyamplung dan sekitarnya.
Kisah kebaikan mereka yang meninggal terkait kecelakan pesawat tersebut pun terus berlanjut. Berlanjut pada kematian salah seorang penyelam yang menjadi relawan pencarian puing-puing pesawat. Sang relawan bernama Syachrul Idrus (Anto) harus kehilangan nyawanya karena mengalami dekompresi saat melakukan penyelaman. Sebelum kematiannya ia mengirimkan sebuah pesan Whats App yang sangat dalam bagi istrinya "...Sekitar 180 penumpang mendekati takdirnya. Ada yang tertinggal karena macet, ada yang pindah pesawat karena ingin cepat sampai, dan ada juga yang batal karena ada urusan. Tidak ada yang tertukar. Allah menyeleksi dengan perhitungan yang tidak salah. Mereka ditakdirkan dalam suatu janjian berjamaah. TakdirNya seperti itu, tanpa dibedakan usia”. Berdasarkan kesaksian istrinya, semasa hidupnya almarhum selalu mengatakan bahwa "Nyawa ini untuk menolong orang lain". Almarhum memiliki cita-cita yang belum terwujud yakni membangun yayasan sosial untuk anak-anak terlantar. Sebelum ia dapat mewujudkan impiannya itu, dia sudah mulai bantu-bantu yang kesusahan. Mulai dari keluarga, terus saudara-saudaranya yang memang sedang butuh. Kebaikan almarhum selama hidup tercermin dari pesan perpisahan yang disampaikan istrinya “
"Tunggu aku di jannahNya Insya Allah....
terimakasih kasih sayang, bimbingan dan didikanmu.
Insya Allah kami teruskan dedikasimu dalam kemanusiaan
Laa khaula wala kuwwata Illa Billah ...
Innalilahi wainailaihi rojiun...
Mohon dibukakan pintu maaf segala kesalahan almarhum"
Kisah hidup para korban tersebut harusnya membuat kita merenungkan kembali apa saja bekal yang sudah kita siapkan untuk kehidupan kita yang sesungguhnya, yaitu kehidupan setelah kematian. Pada kacamata manusia, mungkin korban pesawat naas tersebut adalah orang-orang yang kurang beruntung. Tapi dari kacamata iman, boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesuai dengan keterangan Hadits “Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Kematian dalam kacamata kita mungkin memang sesuatu yang menakutkan. Tapi bagi mereka yang beriman, bukankah itu satu-satunya jalan untuk bertemu TuhanNya? Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya di akhirat kelak ia akan bersama-sama dengan para nabi, orang-orang yang jujur dalam beriman, orang yang mati syahid dan orang-orang shalih yang telah Allah beri nikmat. Mereka itu adalah teman-teman yang sangat baik bagi orang-orang mukmin . (QS. An-Nisa 69). Ketakutan kita akan kematian mungkin sebenarnya refleksi dari kesadaran diri kita yang mungkin masih kurang dalam beramal dan lebih banyak berbuat dosa.
Kesaksian tentang bagaimana para korban tersebut menjalani hidupnya seharusnya memberikan tamparan keras buat diri kita. Karena sebagai seorang Muslim, tentunya musibah kecelakan pesawat tersebut harusnya memberikan hikmah yang menyebabkan kita dapat melakukan I’tibar/mengambil ibroh atau hikmah dari kejadian tersebut. Kata hikmah sendiri disebut sebanyak 20 kali di dalam Al-Quran. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al-A’raf: 176). Sejalan dengan hal tersebut, Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa seseorang dikatakan dapat mengambil ibroh dari suatu kejadian jika ia mampu “menyeberangkan” apa yang dilihat dan disaksikannya kepada dirinya untuk menggugah kesadarannya bahwa apa yang dilihat dan disaksikannya dapat terjadi pada dirinya.
Semoga saja kita dapat memahami pesan yang Allah sampaikan melalui kecelakaan tersebut dan semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari kejadian itu. Semoga kita semua dapat merenungkan semua persepsi, sikap, motivasi dan bahkan kepribadian yang kita miliki selama ini dan mengubahnya ke arah yang lebih baik. Sebuah perubahan besar yang menjadikan kehidupan kita bermuara pada tujuan yang lebih hakiki, yaitu kehidupan akhirat.
Semoga ke depannya, kita semua dapat menjadi ayah, ibu, suami, istri, anak. karyawan dan teman yang lebih baik. Semoga kisah itu dapat menjadikan kita ayah yang selalu ingat pada kewajibannya untuk mendidik istri dan anaknya untuk semakin taat kepada Allah. Menjadikan kita ayah dan ibu yang mendorong anak-anaknya menjadi penghafal Quran. Menjadikan kita suami yang ikhlas saat mencari nafkah. Menjadikan kita istri yang lebih sabar dan ikhlas saat mengurus keluarga. Menjadikan kita anak yang berbakti pada orang tua. Menjadikan kita karyawan yang lebih rajin. Menjadikan kita teman yang setia dan saling menasihati dalam kebaikan. Dan lebih jauh lagi, menjadikan kita hamba yang lebih shaleh. Sehingga pada akhirnya pada suatu saat nanti kala kita telah selesai dishalatkan, dan imam berbalik badan menghadap para makmum lalu bertanya “Mayit (jenazah) ini semasa hidupnya termasuk orang yang baik atau jelek?” Maka mereka akan menjawab, “Baik!”. Insya Allah.
Depok, 3 November 2018
Sri Rahayu Hijrah Hati
Pasca terjadinya kecelakan tersebut, muncullah berbagai kesaksian dari para keluarga, kerabat dan teman yang ditinggalkan mengenai keseharian para korban semasa hidup. Kesaksian yang mereka berikan memberikan sebuah keyakinan bahwa sebagian besar dari mereka yang ditakdirkan untuk menaiki pesawat tersebut adalah orang-orang yang baik. Bagaimana tidak, di pesawat tersebut terdapat seorang teman saya yang menurut kerabatnya sangat memperhatikan pendidikan saudara-saudaranya. Ia akan datang dari jauh jika mendengar ada saudarnya yang tidak mau melanjutkan pendidikannya. Dalam pesawat yang sama terdapat seorang muslimah yang menurut temannya tidak pernah berhenti ber muro’jaah atau mengulang kembali hafalan Qurannya dimanapun ia berada, termasuk ketika ia sedang berada dalam perjalanan. Di pesawat tersebut juga terdapat seorang ayah yang memiliki seorang anak yang sudah tahfiz Quran 6 juz. Dalam pesawat yang sama juga terdapat seorang ibu yang baru menemui putrinya yang sedang mondok di pesantren untuk menghafal Al-Quran. Ada juga seorang penumpang yang baru saja menjadi mualaf.
Kesaksian baik mengenai kebaikan dan keshalehan korban dari pesawat itu pun tidak terhenti pada kisah para penumpangnya. Sang Co-Pilot yang bernama Harvino pun dikisahkan memiliki kepribadian yang sangat baik. Rekan sekerjanya maupun keluarga bahkan masyarakat yang jauh dari tempat tinggalnya memberikan kesaksian bahwa ia merupakan seorang yang shaleh. Bagaimana tidak, Captain Harvino bukan hanya menjadi seorang Ayah dari 3 putera-puteri kandungnya, ia juga menjadi ayah asuh bagi 10 anak-anak yatim di Desa Nyamplung Sari, Petarukan, Pemalang. Para anak yatim dhuafa di desa itu sudah memperoleh uluran tangan Captain Harvino yang tak pernah putus sejak 3 tahun yang lalu. Anak-anak yang tadinya tak sekolah dapat sekolah lagi, mereka yang tak bisa mengaji diajarkan baca Al-Qur’an. Berkat uluran tangannya itu, jiwa keimanan penduduk di desa tersebut semakin tumbuh. Sang Captain juga telah membangun sebuah Mushala kecil bersama penduduk desa tersebut. Tidak hanya itu, ia bersama teman-temannya, sedang dalam proses membangun Rumah Qur’an untuk menampung anak-anak yatim dhuafa dan anak nelayan yang jumlahnya kini mencapai 164 anak di desa Nyamplung dan sekitarnya.
Kisah kebaikan mereka yang meninggal terkait kecelakan pesawat tersebut pun terus berlanjut. Berlanjut pada kematian salah seorang penyelam yang menjadi relawan pencarian puing-puing pesawat. Sang relawan bernama Syachrul Idrus (Anto) harus kehilangan nyawanya karena mengalami dekompresi saat melakukan penyelaman. Sebelum kematiannya ia mengirimkan sebuah pesan Whats App yang sangat dalam bagi istrinya "...Sekitar 180 penumpang mendekati takdirnya. Ada yang tertinggal karena macet, ada yang pindah pesawat karena ingin cepat sampai, dan ada juga yang batal karena ada urusan. Tidak ada yang tertukar. Allah menyeleksi dengan perhitungan yang tidak salah. Mereka ditakdirkan dalam suatu janjian berjamaah. TakdirNya seperti itu, tanpa dibedakan usia”. Berdasarkan kesaksian istrinya, semasa hidupnya almarhum selalu mengatakan bahwa "Nyawa ini untuk menolong orang lain". Almarhum memiliki cita-cita yang belum terwujud yakni membangun yayasan sosial untuk anak-anak terlantar. Sebelum ia dapat mewujudkan impiannya itu, dia sudah mulai bantu-bantu yang kesusahan. Mulai dari keluarga, terus saudara-saudaranya yang memang sedang butuh. Kebaikan almarhum selama hidup tercermin dari pesan perpisahan yang disampaikan istrinya “
"Tunggu aku di jannahNya Insya Allah....
terimakasih kasih sayang, bimbingan dan didikanmu.
Insya Allah kami teruskan dedikasimu dalam kemanusiaan
Laa khaula wala kuwwata Illa Billah ...
Innalilahi wainailaihi rojiun...
Mohon dibukakan pintu maaf segala kesalahan almarhum"
Kisah hidup para korban tersebut harusnya membuat kita merenungkan kembali apa saja bekal yang sudah kita siapkan untuk kehidupan kita yang sesungguhnya, yaitu kehidupan setelah kematian. Pada kacamata manusia, mungkin korban pesawat naas tersebut adalah orang-orang yang kurang beruntung. Tapi dari kacamata iman, boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesuai dengan keterangan Hadits “Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Kematian dalam kacamata kita mungkin memang sesuatu yang menakutkan. Tapi bagi mereka yang beriman, bukankah itu satu-satunya jalan untuk bertemu TuhanNya? Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya di akhirat kelak ia akan bersama-sama dengan para nabi, orang-orang yang jujur dalam beriman, orang yang mati syahid dan orang-orang shalih yang telah Allah beri nikmat. Mereka itu adalah teman-teman yang sangat baik bagi orang-orang mukmin . (QS. An-Nisa 69). Ketakutan kita akan kematian mungkin sebenarnya refleksi dari kesadaran diri kita yang mungkin masih kurang dalam beramal dan lebih banyak berbuat dosa.
Kesaksian tentang bagaimana para korban tersebut menjalani hidupnya seharusnya memberikan tamparan keras buat diri kita. Karena sebagai seorang Muslim, tentunya musibah kecelakan pesawat tersebut harusnya memberikan hikmah yang menyebabkan kita dapat melakukan I’tibar/mengambil ibroh atau hikmah dari kejadian tersebut. Kata hikmah sendiri disebut sebanyak 20 kali di dalam Al-Quran. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al-A’raf: 176). Sejalan dengan hal tersebut, Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa seseorang dikatakan dapat mengambil ibroh dari suatu kejadian jika ia mampu “menyeberangkan” apa yang dilihat dan disaksikannya kepada dirinya untuk menggugah kesadarannya bahwa apa yang dilihat dan disaksikannya dapat terjadi pada dirinya.
Semoga saja kita dapat memahami pesan yang Allah sampaikan melalui kecelakaan tersebut dan semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari kejadian itu. Semoga kita semua dapat merenungkan semua persepsi, sikap, motivasi dan bahkan kepribadian yang kita miliki selama ini dan mengubahnya ke arah yang lebih baik. Sebuah perubahan besar yang menjadikan kehidupan kita bermuara pada tujuan yang lebih hakiki, yaitu kehidupan akhirat.
Semoga ke depannya, kita semua dapat menjadi ayah, ibu, suami, istri, anak. karyawan dan teman yang lebih baik. Semoga kisah itu dapat menjadikan kita ayah yang selalu ingat pada kewajibannya untuk mendidik istri dan anaknya untuk semakin taat kepada Allah. Menjadikan kita ayah dan ibu yang mendorong anak-anaknya menjadi penghafal Quran. Menjadikan kita suami yang ikhlas saat mencari nafkah. Menjadikan kita istri yang lebih sabar dan ikhlas saat mengurus keluarga. Menjadikan kita anak yang berbakti pada orang tua. Menjadikan kita karyawan yang lebih rajin. Menjadikan kita teman yang setia dan saling menasihati dalam kebaikan. Dan lebih jauh lagi, menjadikan kita hamba yang lebih shaleh. Sehingga pada akhirnya pada suatu saat nanti kala kita telah selesai dishalatkan, dan imam berbalik badan menghadap para makmum lalu bertanya “Mayit (jenazah) ini semasa hidupnya termasuk orang yang baik atau jelek?” Maka mereka akan menjawab, “Baik!”. Insya Allah.
Depok, 3 November 2018
Sri Rahayu Hijrah Hati
0 comments:
Post a Comment